Judul di atas dalam arti yang sebenarnya.
Sebagai orang pendek, aku memang jarang sekali melihat ke bawah. Selalu ke atas. Karena lawan bicara yang aku hadapi tentu saja jauh lebih tinggi. Selalu mengenggak ke atas, bukan sombong….. tapi keadaan lah yang mengharuskan seperti itu.
Pertumbuhan yang terhambat dimuali saat usiaku 11 tahun, kelas 5 SD. Sejak itu aku tidak lagi tumbuh tinggi, hingga saat ini. Masuk SMP, orang orang mulai mengenal diriku yang mungil. Tapi aku tidak dijuluki Yayang leutik (kecil dalam bahasa Sunda) tapi malah dikenal dengan Yayang petet. Diambil dari nama Didi Petet yang saat itu mulai terkenal. Karena mataku yang sipit.
Aku tentu saja menyadari diriku kecil dan pendek. Tapi aku tidak punya masalah rendah diri karena diriku yang pendek, biasa saja. Pernah berhayal ingin tinggi dan aku utarakan pada ibuku. Pertanyaanku sederhana. kenapa aku sendiri yang pendek di rumah? Ibu dan ayah normal. Kakakku malah lebih tinggi dari rata rata laki laki saat itu di jamannya. Dan jawaban ibuku sedikit konyol, namun melegakanku… Untung kamu yang pendek, bukan kakak kakakmu atau adikmu. lebih enak dipandang mata anak wanita yang kecil. Yang penting hati dan jiwamu yang besar. Ya, aku satu satunya anak perempuan dari empat bersaudara yang semuanya lelaki, dan kadang orang tak percaya bahwa aku adik dari si A atau B. Hah? Tapi mereka tinggi tinggi! Terus kenapa klo tinggi? Tanyaku selalu.
Walau begitu aku bukan seseorang yang terlampau percaya diri, biasa saja, malah cenderung pemalu, namun bukan karena pendek. Ini sudah bawaan saja.
Walau menyadari bahwa diriku kecil, tapi aku tak pernah menyadari seberapa kecil aku dilihat dimata orang lain. Pikirku aku tak kecil kecil amat, hingga suatu hari….
Kala itu aku berada di sebuah lift di kota Tokyo, masuk seorang wanita tua yang menurutku ajaib banget bisa sependek itu. Wanita tersebut menyapa kami yang langsung dijawab temanku sambil menganggukkan kepala dan akupun ikut ikutan mengangguk. Kemudian aku begitu terkejut sejadi jadinya saat si wanita tua kecil itu berdiri berdampingan denganku dan bayangan kami berdua memantul dari kaca besar yang ada di dalam lift. Aku lebih pendek dari si nenek itu! Nenek yang aku anggap ajaib bisa sependek itu!
Keluar dari lift aku segera menceritakan ke’syok’kanku tersebut pada temanku. Dia hanya tersenyum saja, sambil berkata sambil berkata aku sudah terbiasa melihat kamu sependek itu, katanya.
Kini aku terbiasa, jika teman teman yang bule, saat berfoto denganku tiba tiba mereka membungkuk atau ada yang berjongkok, mereka selalu menyamakan wajahnya sejajar denganku jika berfoto, kebiasaan tersebut tidak pernah aku dapatkan jika berfoto dengan teman teman Indonesia mereka biasa saja berdiri tidak pernah berusaha menyamakan wajahnya sejajar dengan wajahku, jadi kepalaku selalu berada dibawah mereka.
Kemaren sore, seseorang berdiri di depan pintu rumah. Saat berkata menceritakan kedatangannya (pengumpul koin untuk sumbangan tertentu, sambil membawa kaleng) dia membungkukan badannya berusaha menyawakan wajahnya sejajar dengan mukaku, aku tersenyum takjub melihat usahanya yang tak mudah. Tentu saja membungkuk berusaha mendapatkan posisi yang sejajar bagi wanita Belanda yang terkenal setinggi lemari adalah hal yang tak mudah! Aku tersenyum melihat usahanya, dan sadar betapa istimewanya diriku!
PS. Yayang yang selalu mengaku TB: 145 cm, padahal faktanya 144,5 cm. Semoga nanti nanti tidak berbohong setengah centi!